Ya Allah Izinkan Aku untuk beribadah di Tanah Suci... Aamiin

Rabu, 22 Agustus 2012

Meludahi Kebahagiaan


Pada suatu hari seorang pedagang tiba di kota Konya, sebuah kota di Negara Turki zaman dahulu. Pedagang itu tampak gelisah. Rupa-rupanya perjalanan niaganya ke sejumlah kota mengalami kerugian. Barang-barang dagangan habis, tetapi laba tak di dapatnya. Kini dengan lesu sang pedagang berniat singgah sejenak untuk beristirahat di kota Konya. Ia ingin menenangkan jiwanya sebentar dari kesumpekan hidup yang tengah melandanya.

Kepada beberapa kenalannya, sang pedagang minta diantarkan kepada para ulama untuk meminta nasehat. Para sahabatnya lantas mengajak sang pedagang untuk mengunjungi ulama setempat untuk mengadukan permasalahannya. Para ulama kota itu memberinya sejumlah nasehat, namun pedagang itu merasa kurang puas. Ia masih merasa ada yang mengganggu batinnya, sesuatu yang tak ia ketahui namun membuat gelisah jiwanya.

Akhirnya sang pedagang berkata pada para sahabatnya: “ antarkan aku lagi ke ulama di kota ini yang benar-benar alim, ulama yang tidak cinta dunia. Agar aku dapat mengambil manfaat dari ucapannya”.

Sahabatnya berkata: “ seingatku, semua ulama di kota ini telah kita kunjungi. Tapi, sebentar…memang ada seorang alim yang kita telah lupa mengunjunginya. Dia adalah Syaikh Jalaluddin Rumi. Beliau adalah orang yang benar-benar alim. Beliau telah membuang kecintaan pada dunia dan menukarnya dengan cinta ilahi. Beliau benar-benar sudah tenggelam dalam rasa cinta yang memabukkan kepada Tuhannya. Beliau kini tinggal di pinggir kota. Kita telah melupakannya.”

Baru mendengar nama ulama itu saja sudah membuat hati sang pedagang gembira. Ia merasa ulama yang disebutkan sahabatnya itu mampu memberi jawaban atas kegundahannya selama ini. Ia pun berjanji dalam hati, akan memberi sedikit dari sisa uangnya kepada ulama itu.

Mereka pun berangkat ke tempat sang ulama.

Waktu mereka tiba, mereka melihat sang ulama sedang asyik membaca kitab di dalam rumahnya yang sederhana. Baru melihat keteduhan dan pancaran kelembutan di wajah sang ulama, sudah membuat airmata sang pedagang berlinang. Cahaya yang memancar dari wajah ulama itu menerbitkan ketentraman di hatinya. Sang pedagang pun mengucap salam.

Sambil tersenyum Syaikh Jalaluddin Rumi menjawab salamnya dan berkata: “uang yang kau niatkan untuk kau berikan padaku aku terima. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Wahai pedagang, sekarang apakah kau ingin tahu apa yang membuat hatimu gundah dan usahamu terus-menerus rugi?”


Sambil bercucuran airmata pedagang itu mengangguk.

Dengan tenang, Syaikh Jalaluddin mengarahkan jari telunjuknya ke dinding. Tiba-tiba saja dinding itu terbelah. Kemudian tampak pemandangan seorang yang berpakaian compang-camping sedang tidur di sudut pasar.

“wahai pedagang, kau pernah melewati pasar ini dan memandang jijik pada pengemis itu, lalu meludahinya. Dia adalah salah satu kekasih Allah. Hatinya terluka oleh sikapmu padanya. Ia lalu memohon kepada Allah. Karena doanya lah usahamu jadi terus-menerus rugi dan hatimu selalu gelisah.”

Pedagang itu menjerit menangisi perbuatannya. Syaikh lalu berkata:

“sekarang pengemis itu ada  di kota Firengistan di sebuah sudut pasar. Datanglah kesana, mintalah maaf padanya, cium tangannya dan biarkan airmata penyesalanmu membasahi telapak kakinya. Sampaikan salam takzimku padanya.”

Pedagang itu lalu pamit dan bergegas menuju kota yang dimaksud. Sampai disana ia mendapati kebenaran kata-kata Rumi. Pengemis itu ada disana. Dengan penuh penyesalan pedagang itu meminta maaf dan mencium telapak kaki pengemis itu sambil berlinangan  airmatanya.

Dalam hidup ini mungkin kita mengalami seperti yang dialami pedagang itu. Kesumpekan, kegelisahan, kegagalan usaha, dan kesialan yang terus membuntuti. Itu mungkin karena kita telah sengaja atau tanpa sengaja menyakiti hati orang-orang yang dicintai Allah. Kita sudah meludahi dan memandang jijik tempat atau orang-orang yang menjadi penyebab turunnya kemuliaan dan kebahagiaan buat kita, sehingga kemuliaan dan kebahagiaan untuk kita dibatalkan. Kita telah menghina kehormatan orang-orang yang dihormati Allah, sehingga kita pun kehilangan kehormatan kita dihadapan Allah.

Marilah kita meminta maaf kepada mereka, dan mencucurkan airmata penyesalan kita.

Wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar