Ya Allah Izinkan Aku untuk beribadah di Tanah Suci... Aamiin

Senin, 02 Juli 2012

Abu Ayyub al-Anshari


Khalid bin zaid al-Anshari
“Dikubur dibawah dinding Konstantinopel.”

          Shahabat yang mulia ini bernama Khalid bin Zaid bin khubaib dari Bani an-Najjar. Adapun kun-yahnya maka dia adalah Abu Ayyub dengan penisbatan kepada Anshar.
          Siapa diantara kita kaum muslimin yang tidak mengenal Abu Ayyub al-Anshari?
          Allah telah meninggikan namanya di timur dan di barat, mengangkat kedudukannya di antara kaum muslimin ketika Allah Swt memilih rumahnya di antara rumah-rumah kaum muslimin  seluruhnya sebagai tempat tinggal Nabi Saw  yang mulia manakala beliau tiba di Madinah sebagai muhajir. Cukuplah hal itu sebagai sebuah kebanggaan.
          Dipilihnya oleh Rasulullah Saw rumah Abu Ayyub mempunyai kisah yang manis untuk dikenang dan nikmat untuk diulang.
          Ketika Nabi Saw tiba di Madinah, hati penduduknya menyambut beliau dengan penuh suka cita dan kemuliaan yang belum pernah diberika kepada pendatang.
          Mata mereka berbinar-binar, memancarkan cinta orang yang mencintai kepada kekasihnya.
          Mereka membuka hati untuk beliau agar pribadi beliau bersemayam di dalam lubuk hati yang paling dalam.
          Mereka membuka pintu rumah-rumah mereka dengan harapan beliau berkenan tinggal dan mendapatkan perlakuan paling mulia.
          Rasulullah Saw singgah di Quba di pinggir Madinah selama empat belas hari, selama itu beliau membangun masjid pertama yang didirikan atas ketakwaan.
          Kemudian beliau meninggalkannya dengan mengendarai unta beliau, para pemuka Yastrib pun berdiri di jalannya, setiap orang ingin meraih kemuliaan, ingin agar rumah mereka disinggahi Rasulullah Saw.
             Mereka berdiri di depan unta Nabi Saw, satu per satu , mereka berkata, “Tinggallah bersama kami wahai Rasulullah, kami mempunyai kekuatan orang, kekuatan senjata dan kesanggupan untuk melindungimu.”
          Maka Nabi Saw bersabda kepada mereka, “Biarkanlah unta ini berjalan karena dia mengikuti perintah.”
          Unta Nabi Saw terus berjalan menuju tujuan akhirnya, mata orang banyak mengikutinya, hati mereka mengelilinginya.
          Setiap unta itu melewati  sebuah rumah, pemiliknya pasti bersedih, penghuninya merasa kehilangan sesuatu, sementara pemilik rumah berikutnya berharap dengan cemas.
          Unta pun terus berjalan demikian, orang banyak berjalan mengikutinya, mereka sangat berkeinginan untuk mengetahui siapa gerangan yang berbahagia meraih karunia besar, sampai unta itu tiba di sebuah halaman kosong di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari dan menderum di sana.
          Namun Rasulullah Saw tidak turun darinya.
          Tidak lama berselang, tiba-tiba unta itu bangkit  dan berjalan sementara Rasulullah Saw melepas tali kekangnya. Namun setelah itu ia kembali ke tempat semula dan dia menderum lagi di sana.
          Pada saat itu kebahagiaan memayungi hati Abu Ayyub  al- Anshari, dia bergegas mendekat kepada Rasulullah Saw untuk menyambutnya, membawa perlengkapan beliau di depannya, seolah-olah dia membawa harta perbendaraan seluruhnya dan membawanya ke dalam rumahnya.
          Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua lantai. Abu Ayyub mengosongkan bagian atas dari semua keperluan pribadinya dan keperluan isterinya agar Rasulullah Saw tinggal di sana.
          Namun Rasulullah Saw lebih memilih tinggal di bawah, maka Abu Ayyub menuruti kemauan Nabi Saw dan membiarkan beliau sesukanya.
          Malam pun tiba, Rasulullah Saw beranjak ke tempat tidur beliau, Abu Ayyub dan isterinya naik ke lantai atas, begitu Abu Ayyub menutup pintu, dia menoleh kepada istrinya dan berkata, “Celaka kita, apa yang kita lakukan? Pantaskah Rasulullah Saw di bawah sedangkan kita di atas? Apakah kita patut berjalan di atas Rasulullah Saw? Apakh kita berada di antara Nabi Saw dengan Wahyu? Kalau begini niscaya kita binasa.”
          Suami isteri itu terdiam kebingugan, keduanya tak tahu harus berbuat apa.
          Keduanya bisa sedikit lega manakala keduanya menepi ke sisi lain di mana Rasulullah Saw tidak berada di bawahnya, mereka berdua tetap di tempat itu tidak meninggalkannya kecuali dalam keadaan berjalan di pinggir  menjahui bagian tengah.
          Pagi tiba Abu Ayyub berkata kepada Nabi Saw, “Demi Allah ya Rasulullah, semalam kami tidak bisa tidur, tidak saya dan tidak pula Ummu Ayyub.”
          Nabi Saw pun bertanya, “Kenapa?”
          Abu Ayyub berkata, “Aku teringat bahwa aku berada di atas rumah di mana engkau berada di bawahnya, jika aku bergerak maka debu-debu akan berhamburan menimpamu, di samping itu aku berada di antara dirimu dengan wahyu.”
          Maka Nabi Saw bersabda, “Jangan pikirkan wahai Abu Ayyub, lebih muda bagiku kalau aku di bawah, karena banyak orang-orang yang hendak menemuiku.”
          Abu Ayyub berkata, aku menuruti perintah Rasulullah Saw, namu disuatu malam yang dingin, sebuah gentong air kami pecah, air berceceran di lantai atas, maka aku dan Ummu Ayyub mengambil selembar kain yang selama ini kami gunakan sebagai selimut, kami tidak memiliki selainnya, kami berusaha mengelap dan mengeringkan air dengan kain itu, kami khawatir ia akan menetes kepada Rasulullah Saw.
          Di pagi hari aku menemui Rasulullah Saw dan aku berkata kepada beliau, “Aku korbankan bapak dan ibukku demi dirimu ya Rasulullah, aku tetap tidak suka berada di atasmu dan engkau berada di bawahku.”
          Kemudian aku menceritakan berita gentong yang pecah, maka beliau menyanggupi dan beiau naik ke atas, aku dan Ummu Ayyub turun ke bawah.
           Nabi Saw tinggal di rumah Abu Ayyub selama kurang lebih tujuh bulan sampaim rampungnya pembangunan masjid di tanah kosong di mana unta Nabi Saw berhenti di sana. Beliau pindah ke kamar-kamarn yang di bangun di sekitar masjid untuk beliau dan ister-isteri beliau, Nabi Saw tetap menjadi tetangga bagi Abu Ayyub. Dua orang mulia yang saling bertetangga.
          Abu Ayyub menyintai Rasulullah Saw sepenuh cinta yang telah meresap ke dalam akal dan hatinya.Rasulullah Saw juga menyintai Abu Ayyub dengan cinta yang mengangkat sekat di antara beliau dengannya sehingga beliau melihat keluarga Abu Ayyub seperti keluarganya sendiri.
          Ibnu Abbas berkisah, dia berkata,
          Abu Bakar keluarke Masjid di suatu siang, Umar melihatnya, dia berkata, “Wahai Abu Bakar, apa yang membuatmu keluar di saat-saat seperti ini?”
          Abu Bakar menjawab, “Yang membuatku keluar tidak lain kecuali rasa lapar yang melilit perutku.”
           Umar berkata, “Sama dengan diriku, aku juga tidak keluar kecuali karena rasa lapar yang berat.”
          Ketika keduanya dalam keadaan demikian, Nabi Saw keluar dan bertemu dengan mereka berdua, Nabi Saw bertanya, “Apa yang membuat kalian keluar di saat-saat seperti ini?”
          Keduanya menjawab, “Demi Allah, yang membuat kami keluar tidak lain kecuali rasa lapar berat yang mendera perut kami.”
          Maka Nabi Saw bersabda, “Aku demi dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidak keluar kecuali karena itu pula. Bangkitlah bersamaku.
          Maka mereka berangkat dan mendatangi Abu Ayyub al-Ansahri. Abu Ayyu sendiri selalu menyimpan makanan untuk Rasulullah Saw. Jika Rasulullah Saw tidak datang kepadanya maka dia akan memberikannya kepada keluarganya.
          Manakala mereka medekati pintu, Ummu Ayyub menyambut mereka. Dia berkata, “Selamat datang kepada Nabi Saw dan orang-orang yang bersamanya.”
          Maka Nabi Saw bertanya, “Di mana Abu Ayyub?”
          Abu Ayyub yang sedang bekerja di kebun yang tidak jauh dari rumah mendengar suara Rasulullah Saw, maka dia bergegas datang dan berkata, “Selamat datang kepada Rasulullah Saw dan orang-orang yang bersamanya.” Kemudian Abu Ayyub menambahkan,
          Wahai Nabiyullah, ini bukan waktu di mana engkau biasa datang.”
          Nabi Saw menjawab, “Kamu benar.”
          Lalu Abu Ayyub pergi ke sebuah pohon kurma dan memotong salah satu janjang yang berisikan kurma segar, yang sudah matang dan kurma setengah matang (yang sudah enak dimakan).
          Nabi Saw bersabda, “Aku tidak ingin kamu memotongnya, mengapa kamu tidak memetik buahnya saja.”
          Abu Ayyub menjawab, “Ya Rasulullah, aku ingin engkau memakan buahnya, kurma segar yang sudah matang dan kurma setengah matang (yang sudah enak dimakan). Aku juga akan menyembelih kambing untukmu.”
          Nabi Saw bersabda, “Jangan menyembelih hewan perahan.”
          Maka Abu Ayyub pun menyembelih kambing muda dan dia berkata kepada istrinya, “Buatlah adonan dan roti untuk tamu kita. Kamu lebih tahu bagaimana membuatnya”. Abu Ayyub sendiri mengambil setengah dari kambing yang disembelihnya untuk kemudian memasaknya dan setengahnya lagi dia panggang. Manakala makanan sudah matang, dihidangkan di hadapan Nabi Saw dan kedua shahabatnya. Nabi Saw mengambil sepotong daging dan meletakkannya di atas sepotong roti, beliau bersabda, “Wahai Abu Ayyub, berikanlah ini dengan segera kepada Fatimah, karena dia tidak pernah makan seperti ini beberapa hari lamanya.”
          Lalu mereka makan sampai kenyang. Nabi Saw bersabda, “Roti, daging,kurma, kurma segar dan kurma setengah matang.”
          Tiba-tiba ledua mata Nabi Saw meneteskan air mata, kemudian beliau bersabda:
“Demi dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah kenikmatan dimana kalian akan ditanya tentangnya di hari Kiamat. Jika kalian mendapatkan seperti ini lalu kalian hendak menyantapnya maka ucapkanlah, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Jika kalian sudah kenyang maka ucapkanlah, “Segala puji bagi Allah yang telah membuat kami kenyang dan memberikan nikmat dengan berlimpah.”
          Kemudian Nabi Saw bangkit dan berkata kepada Abu Ayyub , “Datanglah kepada kami besok.”
          Nabi Saw tidak pernah diberi sebuah kebaikan oleh seseorang kecuali beliau ingin membalasnya. Namun Abu Ayyub tidak mendengar sabda Nabi Saw tersebut, maka Umar berkata kepadanya, “Nabi Saw memintamu untuk hadir kepada beliau besok wahai Abu Ayyub.”
          Maka Abu Ayyub berkata, “Aku mendengar dan menaati undangan Rasulullah Saw.
          Besoknya Abu Ayyub datang kepada Nabi Saw, maka Nabi Saw memberinya seorang hamba sahaya kecila yang biasa membantu beliau. Nabi Saw bersabda kepadanya, “Berbaik-baiklah kepadanya wahai Abu Ayyub, kami tidak melihat darinya kecuali kebaikan selama dia bersama kami.”
          Abu Ayyub pulang ke rumah dengan membawa seorang hamba sahaya. Manakala Ummu Ayyub melihatnya dia bertanya, “Milik siapa dia wahai Abu Ayyu?”
          Abu Ayyub menjawab, “Milik kita, hadiah dari Rasulullah Saw kepada kita.”
          Isterinya berkata, “Hadiah yang sangat berharga dan pemberian yang sangat mulia.
          Abu Ayyub berkata, “Nabi Saw memintaku untuk berbuat baik kepadanya.”
          Ummu Ayyub bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan sehingga kamu bisa melaksanakan permintaan Nabi Saw tersebut?”
          Abu Ayyub menjawab, “Demi Allah, tidak ada cara yang lebih baik untuk melaksanakan wasiat Rasulullah Saw selain memerdekakannya.”
          Umma Ayyub berkata, “Kamu telah dibimbing kepada kebenaran, kamu telah diberi taufiq.” Kemudian Abu Ayyub memerdekakannya.
          Ini sebagian dari kehidupan Abu Ayyub al-Anshari dalam kesehariannya. Kalau anda mempunyai kesempatan untuk melihat sebagian kehidupannya di medan perang niscaya Anda akan melihat keajaiban.
          Dia tidak pernah tertinggal dalam satu peperangan pun sejak zamanRasulullah Saw sampai zaman Mu’awiyah kecuali jika dia mempunyai kesibukan yang lainnya (yang syar’i harus didahulukan).
          Perang terakhir yang diikuti oleh Abu Ayyub adalah ketika Mu’awiyah menyiapkan bala tentara dengan komando putranya Yazid untuk menaklukan Konstatinopel. Pada saat itu Abu Ayyub sudah menjadi seorang laki-laki tua berumur lanjut, usianya mendekati delapan puluh. Namun hal itu bukan penghalang baginya untuk bergabung di bawah panji-panji Yazid dan meretas ombak lautan sebagai seorang mujahid di jalan Allah.
          Namun tidak lama berselang setelah peperangan dimulai, Abu Ayyub sakit yang membuatnya tidak kuasa untuk meneruskan peperangan. Yazid datang kepadanya untuk menjenguknya. Yazid bertanya, “Apakah engkau mempunyai suatu permintaan wahai Abu Ayyub?”
          Abu Ayyub menjawab, “Sampaikan salamku kepada bala tentara kaum muslimin dan katakan kepada mereka, ‘Abu Ayyub mewasiatkan kepada kalian agar kalian masuk ke bumi musuh sejauh mungkin, membawa jasadnya bersama mereka lalu menguburkannya di bawah telapak kaki kalian di pagar kota Konstatinopel.”
          Lalu dia menghembuskan nafas terakhirnya.
          Bala tentara kaum muslimin melakukan permintaan Abu Ayyub seorang shahabat Rasulullah Saw, mereka menyerang pasukan musuh berkali-kali sampai mereka tiba di benteng kota Konstatinopel dalam keadaan membawa jasad Abu Ayyub.
          Di sana mereka menggali dan menguburkannya.
          Semoga Allah merahmati Abu Ayyub al-Anshari, dia menolak kecuali wafat di atas punggung kuda yang kuat sebagai seorang mujahid di jalan Allah dalam usia mendekati delapan puluh tahun.
          

0 komentar:

Posting Komentar