Ya Allah Izinkan Aku untuk beribadah di Tanah Suci... Aamiin

Senin, 02 Juli 2012

Amru bin al-Jamuh


“Laki-laki tua yang bertekad menjejakkan kakinya yang pincang di surga.”

          Amru bin al-Jamuh, salah seorang pembesar Yatsrib di zaman Jahiliyah, seorang pemuka Bani Salamah yang terpandang, satu dari para dermawan Madinah dan pemillik muru’ah di sana.
          Sudah menjadi kebiasaan para pemuka suatu kaum di zaman jahiliyah, masing-masing dari mereka mempunyai sebuah berhala di rumahnya khusus untuk dirinya, demi meraup keberkahannya manakala hendak meninggalkan rumah dan masuk ke dalamnya, menyembelih untuknya di musim-musim tertentu dan berdoa kepadanya manakala kesulitan hidup menerpa.
          Berhala Amru bin al-Jamuh bernama Manat, dia membuatnya dari kayu mahal, dia sangat menjaga bahkan terkesan sangat berlebih-lebihan, memberinya kepedulian besar dan melumurinya dengan minyak wangi terbaik.
          Usia Amru bin al-Jamuh bukan lagi muda, dia sudah melewati enam puluh tahun ketika cahaya iman mulai menyinari rumah-rumah penduduk Yatsrib satu demi satu di tangan penyampai berita gembira pertama Mush’ab bin Umair. Tiga putra Amru bin al-Jamuh: Mu’awwidz, Muadz dan Khallad telah masuk Islam, demikian juga shahabat akrab mereka yang bernama Mu’adz bin Jabal.
          Keislaman tiga orang putra Amru diikuti oleh ibu mereka Hindun, sementara Amru belum mengetahui perkara keimanan mereka sama sekali.
          Hindun istri Amru bin al-Jamuh melihat bahwa Islam telah mewarnai kota Yatsrib, bahwa tidak ada lagi para pembesar Yatsrib yang tetap di atas kesyirikan kecuali suaminya dengan beberapa orang saja.
          Hindun menyintai suaminya, memuliakannya, sangat khawatir kalau suaminya mati di atas kekufuran, akibatnya dia akan menjadi penduduk neraka.
          Pada saat yang sama Amru juga khawatir terhadap anak-anaknya, kalau-kalau mereka meninggalkan agama leluhur, agama nenek moyang dengan mengikuti seruan da’i Mush’ab bin Umair yang telah mampu hanya dalam waktu yang singkat memalingkan penduduk Yatsrib dalam jumlah besar dari agama mereka dan membawa mereka kepada agama yang dibawa Muhammad Saw.
          Amru berkata kepada istrinya, “Hindun, berhati-hatilah, jangan sampai anak-anakmu bertemu dengan laki-laki itu, maksudnya adalah Mush’ab bin Umair- sampai kita memikirkan pendapat kita tentangnya.
          Isterinya menjawab, “Aku mendengar dan mematuhi kata-katamu, tetapi apakah engkau berkenan mendengar cerita tentang laki-laki itu dari puttramu Mu’adz?”
          Maka Amru berkata, “Celaka dirimu, apakah Mu’adz sudah meninggalkan agamanya sementara aku tidak mengetahuinya?”
          Maka wanita shalihah ini merasa kasihan kepada suaminya yang berumur ini, maka dia berkata, “Tidak, dia hanya menghadiri sebagian majlis laki-laki tersebut dan menghafal sebagian sebagian dari apa yang diucapkannya.”
          Amru berkata, “Panggil Mu’adz ke mari.”
          Ketika Mu’adz datang di depannya, Amru berkata, “Perdengarkanlah kepadaku sebagian dari apa yang dikatakan oleh laki-laki itu.”
          Maka Mu’adz membaca surat al-Fatihah yang artinya:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di hari pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkaulah Kami meminta pertolongan. Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
          Amru berkata, “Betapa bagus dan indahnya ucapan ini. Apakah semua ucapannya demikian?”
          Mu’adz, anaknya menjawab, “Ada yang lebih baik dari itu wahai bapakku, engkau harus mengikutinya, karena semua kaummu telah mengikutinya.”
          Laki-laki tua ini diam sesaat kemudian dia berkata, “Aku tidak memutuskan apapun sebelum meminta pendapat Manat, aku akan melihat apa yang dia katakan.”
          Mu’adz berkata, “Apa yang akan dikatakan oleh Manat wahai bapak, ia hanyalah kayu yang tuli, tidak berakal dan tidak bisa berbicara.”
          Laki-laki tua itu menjawab penuh kemarahan, “Aku katakan kepadamu bahwa aku tidak akan memutuskan suatu perkara tanpa pertimbangannya.”
          Amru bin al-Jamuh pun pergi menemui Manat. Jika orang-orang jahiliyah hendak berbicara kepada berhala mereka, maka mereka meminta seorang wanita tua untuk berdiri di belakang berhala tersebut, wanita inilah yang akan menyampaikan jawaban berhala menurut mereka-kepada siapa yang berbicara kepada berhala. Amru berdiri tegak di depan Manat, dia berpijak kepada kakinya yang sehat, karena kaki yang satunya lagi pincang, maka Amru memujinya dengan pujian yang baik. Kemudian dia berkata,
          “Wahai Manat, tidak ragu bahwa engkau telah mengetahui bahwa da’i tersebut telah datang kepada kami dari Makkah, dia tidak menginginkan keburukan bagi seseorang kecuali dirimu. Dia hanya datang untuk melarang kami untuk menyembahmu. Aku tidak ingin membaiatnya sekalipun aku telah mendengar sebagian dari ucapannya yang bagus sebelum aku meminta pendapatmu, maka katakan pendapatmu kepadaku.” Namun Manat tidak menjawab apapun.
          Amru berkata, “Mungkin kamu marah. Aku belum melakukan perbuatan apapun yang menyakitimu. Namun tidak mengapa, aku akan membiarkanmu beberapa hari sehingga kemarahanmu mereda.”
          Anak-anak Amru bin al-Jamuh mengetahui sejauh mana ketergantungan bapak mereka kepada berhalanya, Manat. Bagaimana Manat seiring dengan berjalannya waktu telah menjadi bagian darinya, namun mereka mengetahui bahwa kedudukan berhala ini sudah mulai goyah di dalam hati bapak mereka, saat ini mereka harus melepaskan hati bapak mereka dari Manat dengan kuat, itulah jalan iman bagi bapak mereka.
          Di suatu malam anak-anak Amru bin al-Jamuh bersama kawan mereka Mu’adz bin Jabal menyusup ke dalam ruangan dimana Manat disimpan, mereka membawanya dari tempatnya, kemudian membuangnya di tempat sampah milik Bani Salamah, lalu mereka pulang ke rumah tanpa ada seorang pun yang mengetahui apa yang mereka lakukan. Pagi tiba, Amru berjalan dengan tenang menuju berhalanya untuk mengucapkan salam kepadanya, namu dia tidak mendapatinya.
          Amru berkata, “Celaka kalian, siapa yang berbuat kurang ajar terhadap tuhanku tadi malam?” Tidak seorang pun dari penghuni rumah yang menjawab.
          Maka Amru mulai mencarinya di dalam dan di luar rumah sambil menahan amarah besar, mulutnya mengancam dan mengomel, sampai akhirnya dia menemukan Manat tersungkur di tempat sampah, dia mengambilnya dan mencucinya, membersihkannya dan memberinya minyak wangi, mengembalikannya ke tempatnya.
          Amru berkata kepada Manat, “Demi Allah, kalau aku mengetahui siapa yang melakukan hal itu kepadamu niscaya aku akan menghukumnya.”
          Malam berikutnya anak-anak Amru masuk ke tempat dimana Manat dismpan, mereka kembali melakukan apa yang mereka lakukan di malam sebelumnya. Pagi tiba, laki-laki tua ini mencari Manat dan menemukannya di tempat sampah dalam keadaan berlumur kotoran, dia mengambilnya, membasuhnya dan memberinya wewangian lalu mengembalikannya ke tempatnya.
          Anak-anak muda itu terus melakukan itu terhadap Manat setiap malam. Amru benar-benar jengkel dengan keadaan tersebut, maka sebelum tidur dia menghampiri Manat, membawa pedangnya dan menggantungkannya di pundaknya.
          Amru berkata kepadanya, “Wahai Manat, demi Allah, aku tidak mengetahui siapa yang melakukan itu terhadapmu, jika padamu terdapat kebaikan maka belalah dirimu dari keburukan ini, ini pedang bersamamu.” Kemudian Amru pergi ke tempat tidurnya.
          Begitu anak-anak muda itu yakin bahwa laki-laki tua itu telah lelap dalam tidurnya, mereka langsung mendekati berhala, mereka mengambil pedang dari pundaknya, membawanya keluar rumah, mengikatnya pada bangkai anjing pada seutas tali, lalu mereka membuangnya ke sebuah sumur milik Bani Salamah tempat permbuangan kotoran mereka.
          Laki-laki berumur ini bangun, dia tidak melihat Manat, dia keluar mencarinya, dia melihatnya tersungkur dengan kepala di bawah di sebuah sumur terikat dengan seekor bangkai anjing sementara pedang yang dia berikan kepadanya sudah tidak terlihat bersamanya, kali ini Amru tidak mengambilnya, dia meninggalkannya di tempat dia tercampakkan. Dia berkata,
Demi Allah, kalau kamu adalah tuhan yang benar niscaya Kamu tidak akan pernah terikat dengan tali bersama anjing di dalam sumur.”
          Tidak lama berslang. Amru pun masuk Islam.
Amru bin al-Jamuh meraskan manisnya iman, hal ini membuatnya menggigit jari penyesalan atas setiap saat yang dia habiskan dalam kesyirikan, dia menyambut agama barunya dengan sepenuh jiwa dan raganya. Dia berikan harta, jiwa dan anak-anaknya demi menaati Allah dan Rasullnya.
          Saat perang Uhud. Amru bin al-Jamuh melihat ketiga anaknya bersiap-siap untuk menyambut musuh-musuh Allah. Dia melihat kepada mereka, hilir mudik seperti singa hutan dalam keadaan sangat merindukan syahadah dan keberuntungan meraih ridha Allah. Pemandangan itu memicu semangatnya, maka dia bertekad untuk berangkat bersama mereka ke medan jihad di bawah panji-panji Rasulullah Saw. Namun anak-anaknya berupaya untuk mencegah tekad bapak mereka.
          Bapaknya adalah laki-laki tua, berumur lanjut, di samping itu dia adalah laki-laki pincang, Allah Ta’ala memberinya uzur di antara orang-orang yang diberi uzur. Maka anak-anaknya berkata kepadanya, “Bapak, Allah telah memberimu uzur, mengapa engkau masih memaksakan diri dari apa yang tidak Allah wajibkan atasmu.”
          Bapak mereka marah besar atas ucapan anak-anaknya, dia berangkat kepada Nabi Saw untuk mengadukan mereka, dia berkata, “Wahai Nabiyullah, anak-anakku itu ingin mencegahku untuk meraih kebaikan besar ini, mereka beralasan bahwa aku pincang. Demi Allah aku ingin menjejakkan kakiku yang pincang ini di surga.”
          Rasulullah Saw bersabda kepada anak-anaknya, “Biarkan dia, semoga Allah Swt  memberinya syahadah.”
          Anak-anaknya pun membiarkannya demi menaati perintah Rasulullah Saw.
          Di saat keberangkatannya, Amru bin al-Jamuh mengucapkan selamat tinggal kepada isterinya, seperti perpisahan orang yang pergi dan tidak akan kembali.
          Kemudian Amru menghadapkan wajahnya ke Qiblat, mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Ya Allah, berliah aku syahadah dan jangan biarkan aku pulang dengan tangan hampa.”
          Kemudian dia berangkat diiringi oleh ketiga anaknya serta kaumnya Bani Salamah dalam jumlah besar.
          Perang pun terjadi, ia mulai memuncak, kaum muslimin tercerai-berai dari Rasulullah Saw, pada saat itu Amru bin al-Jamuh terlihat teguh di tampatnya bersama para shahabat angkatan pertama, dia tegak dengan kakinya yang sehat sambil berkata, “Aku benar-benar merindukan surga. Aku benar-benar merindukan surga.”Khallad anaknya berada di belakangnya.
          Bapak dan anak terus berperang membela Rasulullah Saw sehingga keduanya gugur sebagai syahid di medan perang, jarak kematian bapak dengan anak hanya beberapa saat saja.
          Usai perang, Rasulullah Saw memeriksa para syuhada` Uhud untuk menguburkan mereka di liang lahad, beliau bersabda kepada shahabat-shahabat beliau, “Biarkan mereka dengan darah dan luka mereka, aku akan bersaksi untuk mereka.”
          Lalu Nabi Saw bersabda, “Tidak ada seorang muslim yang terluka di jalan Allah, kecuali dia datang di hari kiamat dengan luka yang meneteskan darah, warnanya seperti za’faran dan baunya adalah bau minyak wangi misk.”
          Kemudia Nabi Saw bersabda, “Kuburkan Amru bin al-Jamuh dengan Abdullah bin Amru, keduanya saling menyintai dengan tulus di dunia.”
          Semoga Allah meridhai Amru bin al-Jamuh dan para shahabatnya dari para syuhada` Uhud dan menerangi kubur mereka.


0 komentar:

Posting Komentar