“ Ya Allah, berikanlah
sebuah bukti kepadanya atas kebaikan yang dia niatkan.”
(Dari doa Rasulullah
Saw untuknya)
Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah
Daus di masa jahiliah, salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan
tinggi, satu dari para pemilik muru’ah yang diperhitungkan orang banyak.
Bejana miliknya tidak pernah turun
dari api karena senantiasa dipakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu rumahnya
tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk untuk bermalam.
Dia adalah potret manusia yang
memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi orang yang takut dan
memberi perlindungan kepada orang yang memerlukan perlindungan.
Di samping itu dia adalah seorang
sastrawan cerdik lagi ulung, seorang penyair dengan ilham besar dan persaan lembut, mengenal yang baik kata-kata
yang manis dan pahit, di mana kalimat berperan layaknya sihir.
Ath-Thufail meninggalkan kampung
halamannya di Tihammah menuju Makkah pada saat terjadi pertentangn antara
Rasulullah Saw dengan orang-orang kafir Quraisy, di saat Rasul Saw berusaha
menyampaikan dakwah islam kepada penduduknya.
Rasulullah Saw menyeru mereka kepada
Allah, senjata beliau adalah iman dan kebenaran. Sementara orang-orang kafir
Quraisy memerangi dakwah beliau dengan segala macam senjata, menghalang-halangi
manusia darinya dengan berbagai macam cara .
At-Thufail melihat dirinya masuk ke
dalam pertentangan ini tanpa persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki
sebelumnya.
Dia tidak datang ke Makkah untuk
tujuan tersebut, perkara Muhammad dan orang-orang Quraisy tidak pernah terdetik
dalam pikirannya sebelum ini.
Dari sini Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi
mempunyai hikayat dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita dengan
hikayat tersebut, karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.
Ath-Thufail berkisah ,
Aku datang ke Makkah , begitu para
pembesar Quraisy melihatku,mereka langsung menghampiriku, menyambutku dengan
sangat baik dan menyiapkan tempat singgah yang terbagus bagiku.
Kemudian para pemuka dan pembesar
Quraisy mendatangiku sembari berkata, “Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah
datang ke negeri kami, dan laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai nabi itu telah merusak urusan kami
dan memecah-bekah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan kami.
Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan menimpamu sehingga mengancam
kepemimpinanmu atas kaummu. Maka jangan berbicara dengan laki-laki itu, jangan
merdengar apapun darinya, dia mempunyai kata-kata seperti sihir, memisahkan
seorang anak dari bapaknya, seorang saudara dari saudaranya, seorang isteri
dari suaminya.”
Ath-Thufail berkata,
Demi Allah, mereka terus manceritakan
berita-beritanya yang aneh, menakut-nakuti atas diri dan kaumku dengan
perbuata-perbuatan Muhammad yang terkutuk dan tercela sampai aku pun bertekad
bulat untuk tidak mendekat kepadanya, tidak berbicara dengannya dan tidak
mendengar apapun darinya.
Manakala aku berangkat ke Masjidil
Haram untuk melakukan Thawaf di Ka’bah dan mencari keberkahan kepada
berhala-berhala yang kepada merekalah kami menunaikan ibadah haji dan kepada
merekalah kami mengagungkan, aku menyumbat kedua telingaku dengan kapas karena
aku takut ada perkataan Muhammad yang menyusup telingaku.
Begitu aku masuk masjid, aku melihat
Muhammad sedang berdiri. Dia shalat di Ka’bah dengan shalat yang berbeda dengan
shalat kami, beribadah dengan ibadah yang berbeda dengan ibadah kami,
pemandangan itu menarik perhatianku, ibadahnya menggugah nuraniku. Tanpa sadar
aku melihat diriku telah medekat kepadanya sedikit demi sedikit kepadanya, sehingga
tanpa kesengajaan dariku telah benar-benar dekat kepadnya.
Allah pun membuat hatiku sebagian apa
yang di ucapkan Muhammad terdengar
olehku, aku mendengar ucapan yang sangat indah. Aku berkata kepada diriku,
“Celaka kamu wahai Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang
cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang menghalangimu untuk
mendengar dari ucapan laki-laki ini?
Jika apa yang dia bawa itu baik maka kamu harus menerimanya, jika buruk maka
kamu harus membuangnya.”
Ath-Thufail berkata, aku diam sampai
Rasulullah Saw meninggalkan tempatnya menuju rumahnya, aku mengikutinya sampai
dia masuk ke dalam rumahnya dan aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, “Wahai
Muhammad, sesungguhnya kaummu telah berkata tentangmu begini dan begini. Demi
Allah mereka terus menakut-nakutiku dari ajaranmu sampai aku menutup kedua
telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar kata-katamu. Kemudian Allah
menolak itu semua dan membuatku mendengar sebagian dari ucapanmu. Aku
melihatnya baik, maka jelaskan ajaranmu kepadaku.”
Di saat itu Rasulullah Saw
menjelaskan agamanya kepadaku, beliau membacakan surat al-Ikhlas dan al-Falaq.
Demi Allah aku, tidak pernah mendengar sebuah ucapan yang lebih bagus dari
ucapannya, aku tidak melihat sebuah perkara yang lebih adil daripada
perkaranya.
Pada saat itu aku mengulurkan
tanganku untuknya, aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku masuk islam.
Ath-Thufail berkata,
Kemudia aku tinggal di Makkah
beberapa waktu lamanya, selama itu aku belajar ajaran-ajaran islam dan aku
menghafal al-Qur’an yang mungkin untuk aku hafal. Ketika aku berniat untuk
pulang ke kabilahku, aku berkata,
“Rasulullah, sesungguhnya aku ini
adalah laki-laki yang ditaati dikalangan kaummku, aku akan pulang untuk
mengajak mereka kepada islam. Berdo’alah kepada Allah agar Dia memberiku sebuah
bukti yang mendukungku dalam dakwahku kepada mereka.” Maka Nabi Saw berdoa,
“Ya
Allah berikanlah dia sebuah bukti.”
Aku pun pulang kepada kaumku, ketika
aku tiba di sebuah tempat yang dekat dengan perkampungan mereka, tiba-tib
secercah cahaya muncul dikeningku seperti lampu, maka aku berkata, “Ya Allah,
pindahkanlah ia ketempat lain, karena aku khawatir mereka akan mengira bahwa
ini merupakan hukuman yang menimpa wajahku karena aku meninggalkan agama
mereka.”
Maka cahaya itu berpindah ke ujung
cemetiku, orang-orang melihat cahaya tersebut di ujung cemetiku seperti lampu
yang bergantung, aku turun kepada mereka dari sebuah jalan di bukit. Manakala
aku tiba di perkampungan, bapakku yang sudah berumur lanjut menyambutku, aku
berkata kepadanya, “Menjauhlah engkau dariku, aku bukan termasuk golongamu dan
engkau bukan termasuk golonganku.”
Bapakku bertanya, “Mengapa wahai
anakku?”
Aku menjawab, “Aku telah masuk islam,
aku mengikuti Muhammad Saw.”
Dia berkata, “ Anakku, agamau adalah
agamaku juga.”
Aku berkata, “Pergilah, mandilah dan
sucikanlah pakaianmu, kemudian kemarilah aku akan mengajarimu apa yang aku
ketahui.”
Maka bapakku pun pergi, dia mandi dan
menyucikan bajunya, kemudian dia datang dan aku mejelaskan islam kepadanya dan
dia masuk islam.
Kemuian isteriku datang kepadaku, aku
berkata kepadanya, “Menjauhlah dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan kamu
bukan termasuk golonganku .”
Dia bertanya, “Bapak dan ibumu
sebagai jaminanku, mengapa?”
Aku menjawab, “Islam memisahkan
antara diriku dengan dirimu, aku telah mengikuti Muhammad.”
Dia berkata, “Agamamu adalah
agamaku.”
Aku berkata, “Pergilah dan bersucilah
dari air Dzi asy-Syura.”
Dia berkata, “Bapak dan ibuku sebagai
jaminanku, apakah kamu takut sesuatu terhadap wanita ini dari Dzi as-Syura?”
Aku menjawab, “Celaka kamu dan celaka
juga Dzi as-Syura, aku katakan kepadamu, ‘Pergilah, mandilah di sana jauh dari
penglihatan orang-orang, aku menjamin bahwa batu pejal itu tidak akan melakukan
apapun terhadapmu.”
Dia pun pergi untuk mandi, kemudian
dia datang, aku menjelaskan islam kepadanya maka dia masuk islam.
Kemudian aku mengajak kaumku Daus,
namun mereka tidak menjawab dengan segera, kecuali Abu Hurairah, dia adalah
orang yang paling cepat menjawab seruanku.
Ath-Thufail berkata,
Aku datang bersama Abu Hurairah
kepada Rasulullah Saw di Makkah. Disaat itu Nabi Saw bersabda kepadaku, “Hati kaummu masih tertutupi sekat tebal dan
kekufuran yang keras. Orang-orang Daus dikuasai kefasikan dan kemaksiatan.”
Lalu Rasulullah Saw berdiri mengambil
air, beliau wudhu kemudian mengajarkan shalat, beliau mengangkat kedua tangan
beliau kelangit. Abu Hurairah berkata, “Manakala aku melihat beliau malakukan
itu, aku takut beliau berdoa buruk atas kaumku, akibatnya mereka akan binasa.
Maka aku berkata,’celaka kaumku.”
Yetapi Rasulullah Saw bersabda, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus.
Ya Allah, berikanlah pertunjuk kepada Daus. Ya Allah berikanlah petunjuk kepada
Daus.”
Kemudian beliau menoleh kepada Ath-Thufail dan
berkata, “Pulanglah kepada mereka, serulah mereka kepada islam dengan lemah
lembut.”
Ath-Thufail berkata,
Aku terus tinggal di kampung Daus,
aku mengajak mereka kepada islam sampai Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah.
Perang Badar,Uhud dan Khandaq berlalu. Aku datang kepada Nabi Saw bersama
delapan puluh keluarga dari Daus yang telah masuk islam dan islam mereka pun
telah bagus, Rasulullah Saw berbahagia dengan kehadiran kami, beliau memberikan
bagian dari harta rampasan perang Khaibar kepada kami sama dengan kaum muslimin
lainnya.
Kami berkata kepada beliau, “Ya
Rasulullah, Jadikanlah kami sebagai sayap kanan pasukanmu dalam setiap
peperangan yang engkau terjuni. Jadikanlah Syiar kami,’ Mabrur.”
Ath-Thufail berkata,
Setelah itu aku terus bersama
Rasulullah Saw sampai Allah Ta’ala membuka Makkah untuk beliau. Aku berkata,
“Ya Rasulullah, tugasilah aku ke Dzul Kafain untuk menghancurkan berhala Amru
bin Hamamah, aku ingin menghancurkannya.”Maka Nabi Saw mengizinkannya,
Ath-Thufail berangkay dengan sebuah pasukan yang terdiri dari kaumnya.
Ketika ath-Thufail tiba di sana, dia
hendak membakarnya, kaum laki-laki,wanita dan anak-anak memperhatikannya,
mereka berharap ath-Thufail akan ditimpa keburukan, mereka berharap halilintar
menyambarnya jika dia menghancurkan Dzul Kafain.
Namun ath-Thufail tetap bergerak maju
kepada berhala tersebut dihadapan tatapan mata para pemujanya.
Ath-Thufail menyalakan api, membakar
dada berhala itu sambil bersyair,
Wahai Dzul Kafain, aku tidak termasuk pemujamu
Kehidupan kami mendahului
kelahiranmu
Sesungguhnya aku membakar dadamu
dengan api.
Api
melahap berhala itu, sekaligus melahap sisa-sisa syirik yang ada pada kabilah
Daus, maka mereka semuanya masuk islam dan islam mereka bagus.
Setelah itu Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi
senantiasa mendampingi Rasulullah Saw sampai beliau wafat dan berpulang ke
hadapan Rabbnya.
Setelah itu khilafah berpindah ke
tangan Abu Bakar, ath-Thufail memberikan jiwanya, pedangnya dan anaknya dalam
menaati khlifah Rasulullah Saw.
Ketika perang Riddah
berkecamuk, ath-Athufail berada di barisan depan bala tentara kaum muslimin
untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab, putranya ikut bersamanya.
Ketika dia sedang menuju al-Yamamah,
ath-Thufail bermimpi, dia berkata kepada kawan-kawannya,”Aku bermimpi,
tolong jelaskan kepadaku apa artinya?”
Mereka bertanya, “Mimpi apa?”
Dia berkata, “Aku bermimpi kepalaku
dicukur, seekor burung keluar dari mulutku, seorang wanita memasukkanku ke
dalam perutnya, anakku Amru mencari-cari diriku dengan gigih namun antara
diriku dengan dirinya terdapat penghalang.”
Mereka berkata, “Itu mimpi yang
baik.”
Selanjutnya ath-Thufail berkata, “Aku
sudah bisa mengartikan makna mimpiku. Kepalaku di cukur, artinya ia dipotong.
Seekor burung keluar dari mulutku, artinya arwahku meninggalkan jasadku. Wanita
yang memasukkanku ke dalam perutnya adalah bumi yang digali lalu aku dikubur
disana. Anakku yang gigij mencariku, artinya dia mengharapkan syahadah yang
akan aku dapatkan dengan izin Allah, anakku akan mendapatkannya kelak.”
Di perang Yamamah, shahabat yang
mulia Amru bin ath-Thufail ad-Dausi Ra berperang dengan gigih, memperlihatkan
kepahlawanannya dengan gagah berani, sampai dia gugur sebagai syahid di bumi
perang Yamamah.
Adapun anaknya, Amru, maka dia terus
berperang sampai tubuhnya penuh luka, tangan kanannya terpotong, dia pulang ke
Madinah meninggalkan bapaknya, sementara tangan kanannya dikubur di bumi
Yamamah.
Di masa khilafahUmar bin al-Khattab,
Amru bin ath-Thufail datang menemuinya, tatkala makanan dihidangkan kepada
al-Faruq sementara orang-orang yang duduk di sekelilingnya, dipersilahkan untuk
menyantap hidangan, Amru justru malah menjauh darinya. Maka al-Faruq bertanya
kepadanya,
“Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu
menjauh dari makanan ini karena kamu merasa malu kepada tanganmu?”
Dia menjawab, “Benar wahai Amirul
Mukminin.”
Umar pun berkata, “Demi Allah, aku
tidak menyantap makanan ini sehingga kamu mencampurnya melalui bagian tanganmu
yang terputus itu. Demi Allah, diantara yang hadir ini tidak ada seseorang yang
sebagian anggotanya telah tinggal di surga selainmu.”Maksudnya adalah
tangannya.
Impian syahadah terus berkibar dalam
angan-angan Amru sejak dia berpisah dari bapaknya. Perang Yarmuk tiba, Amru bin
Ath-Thufail bersegera berpartisipasi di dalamnya bersama orang-orang yang
bersegera, dia berperang sehingga dia meraih syahadah yang di harapkan oleh
bapaknya untuknya.
Semoga Allah merahmati ath-Thufail
bin Amri ad-Dausi , seorang syahid dan bapaknya dari seorang syahid.
0 komentar:
Posting Komentar