Ya Allah Izinkan Aku untuk beribadah di Tanah Suci... Aamiin

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 22 Agustus 2012

Tempurung Buat Ibu Dan Bapak


Tadinya mereka tidak terlalu rusuh dengan kehadiran ibu tua itu. Sebagai seorang anak yang merasa dilahirkan dari rahim ibunya, Hasan tidak tega membiarkan ibunya hidup terpisah semenjak bapak Hasan meninggal. Istrinya juga tidak keberatan, apalagi perempuan itu merasakan sangat besar kegunaan mertuanya di rumah. Ibu itu masih bisa membantu-bantu pekerjaan rumah tangganya sehingga tertolong sedikit meskipun ia tidak punya pembantu.
Namun semenjak hamilnya makin besar dan dilihatnya si ibu mertua tambah parah batuknya, dadanya kian kempis dan pernah memuntahkan darah, Nazulah mulai bingung. Kalau ibu yang sakit paru-paru itu tidak segera diungsikan, maka ia khawatir penyakitnya akan menular dan membahayakan anaknya yang bakal lahir.
Maka, setelah merasa hampir dekat melahirkan, Nazulah berkata kepada suaminya,"Bang, sakit biu ternyata penyakit yang menular. Jadi kita harus mencarikan jalan supaya anak kita nanti jangan bergaul dengannya."
Hasan kaget mendengar bicara istrinya ini. "Maksudmu?". "Kita harus berpisah dari ibu," jawab Nazulah.
Hasan termenung mendengar permintaan istrinya. Sebetulnya ia merasa berat terhadap ibunya, namun karena Nazulah mendesak terus, dan ia menganggap alasan istinya cukup kuat, terutama demi anak mereka, maka Hasan membuat gubuk kecil di pekarangan belakang rumah. Dengan perasaan yang masygul ia menyuruh ibunya pindah, tinggal di gubuk itu.
Ibu itu adalah seorang mertua dan nenek yang baik, Ia tahu diri. Ia menganggap umurnya adalah sisa-sisa kesenangan hidup yang pernah dinikmatinya. Maka tanpa sedih sedikitpun Ia pindah ke gubuk itu.
Mula-mula segala kebutuhan perempuan itu masih diperhatikan sekali. Namun, sesudah anak mereka makin besar, Hasan dan istrinya hanya mengingat Maqbullah, anaknya. Seluruh perhatiannya cuma ditumpahkan kepada anak yang manis dan pintar itu. Sampai nasib ibu tua di gubuk itu sering terlantar. Piring dan gelas buat makan atau minumnya sudah lama pecah, tetapi Nazulah lupa menggantinya dengan yang lain. Sehingga untuk makan dan minumnya si nenek terpaksa mencari tempurung kelapa.
Adapun Nazulah  sama sekali melarang anaknya dekat-dekat dengan gubuk yang terdapat di belakang rumah. Dalam usia tiga tahun itu MAqbullah tidak tahu bahwa yang tinggal di gubuk itu adalah neneknya sendiri. Sebab ia akan dimarahi oleh bapak dan ibunya kalau bermain-main mendekati tempat itu.
Namun pada suatu hari Maqbullah berhasil masuk ke sana, karena kebetulan hari itu bapak dan ibunya tidak di rumah. Dengan mengendap-endap ia mengintip melalui lubang pintu. Dilihatnya ada seorang perempuan tua sedang duduk di atas dipan rombeng. Rambutnya sudah putih semua, badannya bungkuk.
Dasar Maqbullah seorang anak yang berani, melihat pemandangan itu bukannya takut, malah dia gembira. Dengan mulutnya yang kecil itu ia memanggil-manggil. "Nek, nenek tua, bukakan pintu nek."
Alangkah gembiranya wajah nenek itu di dalam gubuknya. Tiba-tiba darah segar membersit memerahkan warna mukanya. Matanya bersinar lantaran suara itulah yang selama ini dirindukannya. Sambil terseok-seok ia berjalan ke pintu, lantas dibukanya. "Siapa kamu, nak?" tanya nenek itu.
"Bullah," jawab si anak itu. "Oh, cucuku. Dimana bapak dan ibumu?"
"Pergi," sahut Maqbullah. "Pergi ke mana?" tanya si nenek tambah gembira.
"Jauh," jawab Maqbullah. "Saya ingin masuk, Nek."
Betapa bahagianya nenek itu dapat menggandeng cucunya memasuki gubuk tersebut. Hingga tengah hari Bulah bermain-main di situ. Rupanya anak kecil itu haus. Ia meminta kepada neneknya,"Nek,minum..."
Si nenek mengambil tempurung kelapa."Nenek tidak punya gelas. Nenek hanya punya ini buat minum".
Anak itu heran. "Memang nenek ini siapa sih, tidak punya gelas?". "Aku adalah nenekmu, ibu  bapakmu."
"Kenapa tidak punya gelas?", "Orang tua tidak boleh pakai gelas...."
Demikianlah ketika sudah puas bermain-main di situ, Maqbullah permisi pulang. Untung waktu itu Hasan dan istrinya belum kembali. Jika  sudah, pastilah si nenek yang akan dimarahinya.
Peristiwa itu sudah dua hari terjadi, tatkala mereka bertiga berjalan-jalan melihat-lihat kota. Pada suatu tempat di pinggir jalan, ada selokan kotor. Di dalam selokan tersebut ada sebuah tempurung kelapa yang tersangkut di pinggir. Melihat tempurung itu Maqbullah memaksa minta diambilkan. Setelah Hasan mengambil dan membersihkan tempurung itu, Nazulah bertanya kepada anaknya,"buat apa Bulah minta tempurung ini?"
Tanpa berpikir si anak menjawab,"buat tempat minum ibu kalau ibu sudah tua."
Terkejut Hasan dan istrinya mendengar jawaban ini. Mereka bertanya,"Mengapa begitu?"
"Nenek Bulah yang tinggal di gubuk itu juga dikasih makan dan minum pakai tempurung. Entar kalau Bulah sudah besar dan ibu sudah tua, Bulah akan kasih tempurung buat ibu, dan dibuatkan gubuk jelek buat tidur ibu."
Mendengar jawaban itu sadarlah Hasan dan Nazulah akan kelakuan mereka. Tiba-tiba mereka takut akan ancaman Tuhan terhadap anak yang durhaka. Maka mereka segera merubah sikapnya terhadap orang tuanya, diajak kembali dan diberi perawatan kesehatan atas penyakitnya.

Sumber:  30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.
Penerbit : Pt Remaja Rosdakarya, Bandung. 

Persaudaraan Yang Tulus


Perang Uhud telah berakhir. Tapi belum semua korban yang jatuh ditemukan jenazahnya. Sehinnga petang itu sahabat Umar bin Khattab sengaja pergi ke bukit Uhud untuk untuk mencari mereka, barangkali masih ada yang bisa diselamatkan.
Ketika itu tiba-tiba Umar mendengar ada suara memanggil-manggi nama Allah sambil minta seteguk air. Buru-buru Umar melangkah mendatangi tempat suara itu. Dijumpainya seorang prajurit muslim yang masih muda umurnya dengan luka parah yang mengerikan. Pemuda itu minta minum.
Umar segera berjongkok dan mengangkat kepala pemuda itu. Ia sudah mendekatkan buli-buli airnya ke mulut prajurit tersebut. Sekonyong-konyong dari arah yang lain kedengaran suara seseorang menyebut-nyebut nama Allah, yang juga minta minum karena kehausan. Pemuda tadi memberi isyarat kepada Umar bahwa ia mengurungkan permintaannya untuk minum dan menyuruh Umar agar memberikan airnya kepada orang yang memanggil-manggil barusan, barangkali ia lebih membutuhkan air daripadanya.
Maka pemuda tersebut dibaringkannya kembali, dan Umar bergegas menuju suara yang kedua. Tiba di sana, dilihatnya seorang pejuang muslim setengah tua, dengan kedua tangannya telah terkatung, memohon agar Umar bersedia memberinya minum. Bibirnya pecah-pecah, dan wajahnya penuh darah.
Dengan penuh rasa iba Umar mengangkat kepala orang itu. Ia segera menyodorkan tempat air ke mulutnya. Namun menjelang air itu menetes ke bibir korban perang yang kesakitan tadi, di seberang mereka kedengaran suara memilukan berseru-seru: "Allah..., Allah..., Haus..., Haus...."
Rupanya pejuang yang kedua ini juga mendengar suara tersebut. Maka ia menggelengkan kepala, menampik air yang hendak diberikan kepadanya. Dengan suara yang lirih hampir tidak tertangkap oleh telinga Umar, Pejuang ini berkata,"Berikan...air ini...kepada saudaraku itu...mungkin ia lebih menderita...daripada aku."
Jadi Umar pun bangkit dan meninggalkan tempat tersebut menuju ke seberang. Di sana seorang tentara Islam yang usianya sudah lanjut tergolek tanpa daya.
Pada waktu Umar berjongkok cepat-cepat untuk menolong orang ini, ternyata prajurit tua tersebut sudah keburu menghembuskan napas penghabisan.
Umar sangat sedih. Ia segera meninggalkan prajurit tadi dan tergopoh-gopoh berlari ke tempat prajurit termuda tadi memanggil-manggil Allah dan minta air. Sampai di sana, pemuda itupun baru saja melepas nyawanya. Umar kian sedih. Tapi Ia tidak membuang waktu, Ia bergegas kembali ke tempat prajurit kedua yang meminta pertolongan sesudah anak muda itu. Di sana pun si pejuang yang menderita akibat keganasan perang tidak mampu lagi membuka bibirnya untuk meneguk setetes air pun karena ia juga sudah meninggal dunia.
Umar bin Khattab terpaku ditempatnya berdiri. Begitulah kecintaan sesama muslim terhadap saudaranya seagama hingga ketiga-tiganya tidak ada yang sempat minum lantaran lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. 
Sumber:  30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.
Penerbit : Pt Remaja Rosdakarya, Bandung. 

Al Ghazali dan Kisah Bahaya Hasad


Alkisah, seorang raja memerintah di suatu negeri. Pada suatu hari seseorang datang ke istananya dan menasehati Raja, "Balaslah orang yang berbuat baik karena kebaikan yang ia lakukan kepada Baginda. Tetapi jangan hiraukan orang yang berbuat dengki pada Baginda, karena kedengkian itu sudah cukup untuk mencelakakan dirinya." Maksud orang itu, hendaknya kita membalas kebaikan orang yang berbuat baik pada kita, namun kita jangan membalas orang yang berbuat dengki dengan kedengkian lagi. Cukup kita biarkan saja.

Hadir di istana itu, seorang yang pendengki. Sesaat setelah orang memberi nasehat pergi, ia menghadap raja dan berkata, "Tadi orang itu berbicara padaku, bahwa mulut Baginda bau. Jika Baginda tak percaya, panggillah lagi orang itu esok hari. Jika ia menutup mulutnya, itu pertanda bahwa ia menghindari bau mulut Paduka." Raja tersinggung dan berjanji akan memanggil si pemberi nasehat esok hari.

Sebelum orang itu dipanggil, si pendengki menghampirinya terlebih dahulu dan mengundangnya untuk makan bersama. Si pendengki memberi orang itu banyak bawang dan makanan yang berbau tajam, sehingga mulut si penasehat menjadi bau. Keesokan harinya ia dipanggil Raja dan kembali memberikan nasehat yang sama. Raja lalu berkata, "Kemarilah engkau mendekat." Orang yang telah memakan banyak bawang itu lalu mendekati Raja dan menutupi mulutnya sendiri karena khawatir aroma mulutnya akan mengganggu sang Raja.

Melihat orang itu menutupi mulutnya, Raja pun berkesimpulan bahwa orang ini sedang bermaksud untuk menghina dirinya. Sang Raja lalu menulis surat dan memberikannya pada orang itu. "Bawalah surat ini kepada salah seorang menteriku," ucap Raja, "Niscaya ia akan memberimu hadiah."

Sebetunya surat yang ditulis Raja ini bukanlah surat utuk pemberian hadiah.Raja sangat tersinggung, karena itu ia menulis dalam surat itu, "Hai menteriku, jika engkau bertemu dengan orang yang membawa surat ini, penggallah kepalanya. Kemudian bawalah kepala orang sialan ini ke hadapanku."

Pergilah si pemberi nasehat itu dari istana. Di pintu keluar, ia bertemu dengan si pendengki. "Apa yang dilakukan baginda kepadamu?" Pendengki ingin tahu. "Raja menjanjikanku hadiah dari salah seorang menterinya," ujar si pemberi naehat seraya memperlihatkan surat dari Raja. "Kalau begitu biar aku yang membawanya," kata si pendengki.

Akhirnya, orang yang pendengki itulah yang celaka dan mendapat hukuman mati.

Kearifan Rumi: Kisah Penanam Duri


Dunia Islam pernah melahirkan Jalaludin Ar-Rumi, atau orang-orang barat sering menyebutnya Jalaludin Rumi. Beliau adalah seorang pujangga sufi yang hidup di kota Konya, yaitu daerah Turki sekarang ini. Ajaran-ajaran beliau tentang cinta kasih dan keluhuran budi sampai kini terus dipelajari. Kaum muslim banyak berhutang budi atas kontribusinya memperkenalkan tasawuf dan spiritualisme Islam kepada barat. Orang-orang di Eropa dan Amerika banyak belajar nilai-nilai Islam dari karya-karya Rumi.

Sebagai seorang pujangga sufi beliau banyak menulis puisi-puisi dan kisah-kisah yang bermuatan spiritual. Salah satu karyanya adalah Matsnawi-i-Ma’nawi, yang berisi ribuan bait syair yang sangat indah dalam bahasa Persia. Matsnawi, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai “Al Quran dalam bahasa Persia” karena keindahan bahasa dan kedalaman dimensi spiritual yang termuat di dalamnya, menjadi sebuah karya yang paling banyak diterjemahkan sepanjang masa. Di dalamnya banyak termuat kisah-kisah penuh mutiara hikmah. Saya kutip salah satunya.

Jalaludin Rumi berkisah tentang seorang penduduk Konya yang punya kebiasaan aneh. Ia suka menanam duri di pinggir jalan. Setiap hari kerjanya menanam duri. Lama kelamaan, pohon duri yang ia tanam menjadi besar. Awalnya orang-orang yang lewat jalan itu tidak merasa terganggu oleh duri-duri. Mereka baru mulai protes setelah duri itu mulai bercabangdan mempersempit jalan yang dilalui mereka. Hamper setiap orang pernah tertusuk duri itu. Yang menarik lagi, bukan orang lain saja yang terkena tusukan duri. Si penanamnya pun berulang kali tertusuk duri tanaman yang ia pelihara.

Petugas kota Konya lalu datang menegur orang itu dan memintanya agar menyingkirkan tanaman berduri dari jalan. Si penanam enggan untuk menebang tanamannya. Tapi setelah banyak orang yang protes, akhirnya ia berjanji untuk menebang tanaman itu keesokan harinya. Tapi ternyata pada hari berikutnya, ia menunda pekerjaannya. Demikian pula hari berikutnya. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga akhirnya orang itu sudah menjadi sangat tua dan tanaman berduri itu sudah menjadi pohon yang sangat kokoh. Orang tua itu sudah tak sanggup lagi untuk mencabut pohon berduri yang ia tanam.

Dalam bahasa sederhana, Rumi menasehati kita, “kalian, wahai orang-orang yang malang, adalah penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan dan sifat buruk kalian, perilaku tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, banyak sudah yang menjadi korban. Dan korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan menunda untuk menebang duri itu. Ambillah kapak dan tebang duri-duri itu sekarang, agar orang bisa melanjutkan perjalanan tanpa terganggu olehmu.”

Ingatlah rumpun berduri itu setiap kebiasaan burukmu
Berulang kali tusukannya menyobekkan kakimu

Berulangkali kamu terluka oleh akhlakmu yang keji
Kamu tak punya perasaan, bebal dan keras hati

Jika terhadap luka yang kamu torehkan pada orang
Yang semua dari watakmu yang garang

Kamu tak peduli, paling tidak pedulikan lukamu sendiri
Kamu menjadi bencana bagi semua orang dan diri sendiri

Ambillah kapak dan tebas layaknya lelaki
Runtuhkan benteng Khaibar, laksana Ali
(Matsnawi, hal 1240-1246).


Meludahi Kebahagiaan


Pada suatu hari seorang pedagang tiba di kota Konya, sebuah kota di Negara Turki zaman dahulu. Pedagang itu tampak gelisah. Rupa-rupanya perjalanan niaganya ke sejumlah kota mengalami kerugian. Barang-barang dagangan habis, tetapi laba tak di dapatnya. Kini dengan lesu sang pedagang berniat singgah sejenak untuk beristirahat di kota Konya. Ia ingin menenangkan jiwanya sebentar dari kesumpekan hidup yang tengah melandanya.

Kepada beberapa kenalannya, sang pedagang minta diantarkan kepada para ulama untuk meminta nasehat. Para sahabatnya lantas mengajak sang pedagang untuk mengunjungi ulama setempat untuk mengadukan permasalahannya. Para ulama kota itu memberinya sejumlah nasehat, namun pedagang itu merasa kurang puas. Ia masih merasa ada yang mengganggu batinnya, sesuatu yang tak ia ketahui namun membuat gelisah jiwanya.

Akhirnya sang pedagang berkata pada para sahabatnya: “ antarkan aku lagi ke ulama di kota ini yang benar-benar alim, ulama yang tidak cinta dunia. Agar aku dapat mengambil manfaat dari ucapannya”.

Sahabatnya berkata: “ seingatku, semua ulama di kota ini telah kita kunjungi. Tapi, sebentar…memang ada seorang alim yang kita telah lupa mengunjunginya. Dia adalah Syaikh Jalaluddin Rumi. Beliau adalah orang yang benar-benar alim. Beliau telah membuang kecintaan pada dunia dan menukarnya dengan cinta ilahi. Beliau benar-benar sudah tenggelam dalam rasa cinta yang memabukkan kepada Tuhannya. Beliau kini tinggal di pinggir kota. Kita telah melupakannya.”

Baru mendengar nama ulama itu saja sudah membuat hati sang pedagang gembira. Ia merasa ulama yang disebutkan sahabatnya itu mampu memberi jawaban atas kegundahannya selama ini. Ia pun berjanji dalam hati, akan memberi sedikit dari sisa uangnya kepada ulama itu.

Mereka pun berangkat ke tempat sang ulama.

Waktu mereka tiba, mereka melihat sang ulama sedang asyik membaca kitab di dalam rumahnya yang sederhana. Baru melihat keteduhan dan pancaran kelembutan di wajah sang ulama, sudah membuat airmata sang pedagang berlinang. Cahaya yang memancar dari wajah ulama itu menerbitkan ketentraman di hatinya. Sang pedagang pun mengucap salam.

Sambil tersenyum Syaikh Jalaluddin Rumi menjawab salamnya dan berkata: “uang yang kau niatkan untuk kau berikan padaku aku terima. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Wahai pedagang, sekarang apakah kau ingin tahu apa yang membuat hatimu gundah dan usahamu terus-menerus rugi?”


Sambil bercucuran airmata pedagang itu mengangguk.

Dengan tenang, Syaikh Jalaluddin mengarahkan jari telunjuknya ke dinding. Tiba-tiba saja dinding itu terbelah. Kemudian tampak pemandangan seorang yang berpakaian compang-camping sedang tidur di sudut pasar.

“wahai pedagang, kau pernah melewati pasar ini dan memandang jijik pada pengemis itu, lalu meludahinya. Dia adalah salah satu kekasih Allah. Hatinya terluka oleh sikapmu padanya. Ia lalu memohon kepada Allah. Karena doanya lah usahamu jadi terus-menerus rugi dan hatimu selalu gelisah.”

Pedagang itu menjerit menangisi perbuatannya. Syaikh lalu berkata:

“sekarang pengemis itu ada  di kota Firengistan di sebuah sudut pasar. Datanglah kesana, mintalah maaf padanya, cium tangannya dan biarkan airmata penyesalanmu membasahi telapak kakinya. Sampaikan salam takzimku padanya.”

Pedagang itu lalu pamit dan bergegas menuju kota yang dimaksud. Sampai disana ia mendapati kebenaran kata-kata Rumi. Pengemis itu ada disana. Dengan penuh penyesalan pedagang itu meminta maaf dan mencium telapak kaki pengemis itu sambil berlinangan  airmatanya.

Dalam hidup ini mungkin kita mengalami seperti yang dialami pedagang itu. Kesumpekan, kegelisahan, kegagalan usaha, dan kesialan yang terus membuntuti. Itu mungkin karena kita telah sengaja atau tanpa sengaja menyakiti hati orang-orang yang dicintai Allah. Kita sudah meludahi dan memandang jijik tempat atau orang-orang yang menjadi penyebab turunnya kemuliaan dan kebahagiaan buat kita, sehingga kemuliaan dan kebahagiaan untuk kita dibatalkan. Kita telah menghina kehormatan orang-orang yang dihormati Allah, sehingga kita pun kehilangan kehormatan kita dihadapan Allah.

Marilah kita meminta maaf kepada mereka, dan mencucurkan airmata penyesalan kita.

Wallahu a'lam.

Aku lebih baik dari dia


Suatu hari, Allah SWT berfirman kepada nabi Musa as. "Hai Musa, jika kamu nanti akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu, kamu lebih baik daripada orang itu."

Nabi Musa lalu pergi kemana-mana, ke jalanan, pasar-pasar dan tempat-tempat ibadah. Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu suatu kelebihan dari dirinya. Mungkin dari beberapa hal lain, orang itu lebih jelek dari nabi Musa. Mungkin bodoh dan pemalas. Tetapi nabi Musa selalu menemukan ada suatu hal pada diri orang  tersebut yang lebih baik daripada dirinya. Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadap orang itu nabi Musa dapat berkata, "Aku lebih baik daripada dirinya."

Karena gagal menemukan orang itu, nabi Musa pun masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada nabi Musa. Seperti kita ketahui, burung merak misalnya, bulu-bulunya jauh lebih bagus dari bulu manusia. Semut punya kegigihan dan semangat kerja keras lebih dari manusia. Siput punya kesabaran yang luar biasa. Sampai akhirnya nabi Musa melewati seekor anjing yang kudisan. Nabi Musa berpikir, "Mungkin sebaiknya aku membawanya." Namun ketika sampai di suatu tempat akhirnya nabi Musa melepaskan anjing itu.

Ketika nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah SWT, Tuhan berkata, "Wahai Musa, mana orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk kau bawa?" Nabi Musa menjawab, "Tuhanku, aku tidak menemukan sesuatu pun yang aku lebih baik daripadanya."

Allah lalu berfirman, "Demi keagungan dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku akan menghapus namamu dari daftar kekasih-Ku."

Wallahu a'lam. 

Tiada Kejahatan Yang Tak Berbalas


Seorang penunggang kuda yang masih muda belia tampak begitu kelelahan dan kehausan. Karena itu, tatkala di suatu wadi yang bening airnya dengan tanaman rindang disekelilingnya, penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan turun di tempat tersebut.
Ia berbaring, lalu meletakkan sebuah bungkusan disampingnya. Matahari sangat terik, namun di situ amat teduh, sehingga ia jatuh terpulas tanpa di sengaja. Ia tidur lelap setelah memuaskan dahaganya dengan meminum air bening di wadi tersebut.
Ketika ia terjaga, matahari mulai agak condong. Padahal ia sedang mengejar waktu karena ibunya sakit keras. Nampaknya ia anak orang kaya-raya, terlihat dari pakaiannya yang mewah dan kudanya yang mahal.
Pemuda itu terkejut sekali menyadari hari telah menjellang sore. Maka dengan tergesa-gesa ia melompat ke punggung kudanya. Bungkusannya tertinggal sebab ia hanya berpikir untuk segera tiba di rumah, akan menunggui ibunya yang sedang sekarat, bapaknya sudah meninggal di bunuh orang beberapa tahun lalu.
Tidak berapa lama setelah ia meninggalkan tempat tersebut, seorang penggembala lewat di tempat itu pula. Ia terkesima melihat ada bungkusan kain tergeletak di bawah pohon. Diambilnya bungkusan itu, lalu dibawanya pulang ke gubuknya yang buruk. Alangkah gembiranya hati si anak gembala tatkala ternyata bungkusan itu berisi emas dan permata yang pasti amat berharga. Ia yatim piatu dan masih kecil sehingga dianggapnya penemuan itu merupakan hadiah baginya.

Waktu tempat tadi sudah sepi, seorang kakek yang bungkuk jalan terseok-seok melalui wadi tersebut. Lantaran capek, ia pun duduk beristirahat di bawah pohon yang rimbun. Belum lagi ia sempat melepaskan lelah, anak muda penunggang kuda yang tertidur di situ tadi datang kembali hendak mengambil bungkusannya yang terlupa. Ia memacu kudanya bagaikan kesetanan agar belum ada orang yang menjumpai miliknya.
Tatkala ia sampai, alangkah terkejutnya pemuda tersebut melihat bahwa di bawah pohon tempatnya beristirahat tadi kini terdapat seorang kakek. Dan ia lebih terperanjat lagi hingga pucat wajahnya ketika dilihatnya bungkusan kainnya sudah lenyap dari situ.
Maka dengan suara keras  pemuda itu bertanya,"Mana bungkusan yang tadi di sini?" "Saya tidak tahu,"jawab kakek dengan gemetar.
"Jangan bohong!" bentak si pemuda. "Sungguh, waktu saya tiba di sini, tidak ada apa-apa kecuali kotoran kambing."
"Kurang ajar! kamu sudah tua, bukan? Mau mempermainkan aku? Pasti engkau mau mengambil bungkusanku dan menyembunyikannya di suatu tempat. Ayo, kembalikan! Bungkusan itu baru ku ambil dari kawan ayahku sebagai warisan yang dititipkan ayahku kepadanya untuk diserahkan kepadaku kalau aku sudah dewasa, yaitu sekarang ini. Kembalikan!"
"Sumpah, Tuan, Saya tidak tahu," sahut kakek tersebut makin ketakutan.
"Kurang ajar! bohong! Ayo, serahkan kembali. Bila tidak tahu rasa nanti,"hardik si pemuda tambah berang.
Lantaran memang kakek itu tidak tahu apa-apa, maka ia tetap mengatakan bahwa ia tidak melihat bungkusan itu bahkan mengambil dan menyembunyikannya.
Si pemuda makin marah dan tidak dapat mengendalikannya lagi, dicabutnya sebilah pedang pendek dari pinggangnya dan dibunuhnya si kakek dengan darah dingin. Lantas, sesudah dicarinya ke sana kemari tidak ditemukannya juga, ia pun lalu pulang dengan hati yang dongkol, marah dan kecewa.
Berita ini ditanyakan kepada Nabi Musa oleh salah seorang muridnya. "Wahai, Nabiyullah. Bukankah cerita tersebut justru menunjukkan ketidakadilan Tuhan?" "Maksudnya?" tanya Nabi Musa.
"Kakek itu tidak berdosa, tetapi harus menanggung malapetaka yang tidak patut diterimanya. Sedangkan si anak gembala yang mengantungi harta itu malah bebas, tidak mendapatkan balasan setimpal."
"Tuhan tidak adil?" ucap Nabi Musa terbelalak."Masya Allah.Dengarkan baik-baik latar belakang perisriwa tersebut, yang sebenarnya merupakan bukti keadilan Tuhan dalam membalas hamb-Nya.
Kemudian Nabi Musa pun berkisah:
Ketahuilah, dahulu ada seorang petani hartawan di rampok semua perhiasan dan harta bendanya oleh dua orang bandit kejam. Setelah berhasil, dalam membagi rampokan itu terjadi kecurangan. Salah seorang bandit itu sangat tamak, sehingga harta rampasan itu dikuasainya sendiri. Maka bandit yang kedua pun jadi marah dan dendam, sehingga suatu hari bandit yang serakah itu dibunuhnya. Tahukah kamu siapa bandit kedua yang membunuh kawannya? Dia adalah kakek bungkuk yang di bantai oleh penunggang kuda itu. Dan siapa bandit pertama yang di bunuh? Dia adalah ayah dari pemuda yang membunuh si kakek. Di sini berarti nyawa di bayar dengan nyawa. Adapun petani hartawan yang hartanya di kuras oleh kedua bandit itu adalah ayah dari anak yatim piatu yang mengambil bungkusan kain tadi. Itu keadilan Tuhan juga. Harta kekayaan telah kembali kepada yang berhak, dan kejahatan kedua bandit itu telah memperoleh balasan yang setimpal. Meskipun peristiwanya tidak berlangsung tepat pada saatnya, namun sesuai dengan kejahatan mereka?"

Sumber:  30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.
Penerbit : Pt Remaja Rosdakarya, Bandung. 

Malaikat Menunaikan Haji Untukmu


Seorang Tabi'in yang bernama Abdullah bin Mubarak berkata:
Aku adalah seorang yang sangat suka menunaikan ibadah haji. Bahkan setiap tahun aku selalu berhaji. Pernah pada suatu hari, seperti biasanya setiap aku akan menunaikan ibadah haji, aku mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan keberangkatanku. Aku pergi ke pasar unta dengan membawa lima ratus dinar untuk membeli seekor unta untuk perjalanan hajiku. Ternyata uangku tidak cukup untuk membeli seekor unta. Maka aku pulang kembali ke rumah. Namun di tengah perjalanan, aku melihat seorang wanita sedang berdiri di tempat sampah. Dia mengambil bangkai seekor ayam dan membersihkan bulu-bulunya, tanpa menyadari kehadiranku di dekatnya.

Aku menghampirinya dan berkata kepadanya, "Mengapa engkau melakukan ini, wahai hamba Allah?" Wanita itu menjawab, "Tinggalkan aku, dan urus saja urusanmu sendiri!"

Aku berkata, "Demi Allah, beritahukan kepadaku keadaanmu yang sebenarnya!" Wanita itu berkata, "Baiklah, akan kukatakan keadaanku yang sebenarnya karena engkau telah memaksaku dengan bersumpah atas nama Allah. Ketahuilah! Sesungguhnya aku adalah wanita Alawiyyah (keturunan nabi SAW). Aku mempunyai tiga orang anak kecil dan suamiku telah meninggal dunia. Sudah tiga hari ini, aku dan anak-anakku belum makan apa-apa. Aku sudah mencari sesuap nasi kemana-mana demi tiga orang anakku, namun aku tidak menemukannya selain bangkai ayam ini. Maka aku akan memasak bangkai ini karena ia halal untuk aku dan anak-anakku (darurat)."

Ketika aku mendengar apa yang dikatakan wanita itu, sungguh bulu kudukku langsung berdiri tegak, hatiku terasa tersayat-sayat oleh derita mereka. Aku berkata dalam hati, "Wahai Ibnu Mubarak, haji mana yang lebih mulia daripada menolong wanita ini?" Kemudian aku berkata kepada wanita itu, "Wahai wanita Alawiyyah, sesungguhnya bangkai ayam ini telah diharamkan untukmu. Bukalah bungkusanmu, aku ingin memberimu dengan sedikit pemberian. " Lalu wanita itu mengeluarkan sebuah bungkusan dan aku pun menumpahkan semua uang dinarku ke dalam bungkusan itu.

Wanita itu langsung berdiri tergesa-gesa karena bahagia dan dia mendoakan kebaikan untukku. Kemudian aku pulang ke rumah, sementara keinginanku untuk pergi haji sudah pupus. Lalu aku menyibukkan diri dengan banyak istighfar dan beribadah kepada Allah. Rombongan haji pun mulai berangkat ke Baitullah.

Ketika jamaah haji telah pulang dari Mekkah, aku keluar rumah untuk menyambut mereka. Aku menyalami mereka satu-persatu. Tetapi anehnya, setiap kali aku menyalami salah seorang dari mereka, dia selalu mengatakan, "Wahai Ibnu Mubarak, bukankah engkau melaksanakan haji bersama kami? Bukankah aku melihat kamu di tempat anu dan anu?"

Aku pun terheran-heran mendengar perkataan mereka itu. Kemudian setelah pulang ke rumah dan aku tidur malam harinya, aku bermimpi melihat Rasulullah SAW. Beliau bersabda kepadaku, "Wahai Ibnu Mubarak, engkau telah memberikan uang dinarmu kepada salah seorang keturunanku. Engkau telah melapangkan kesusahannya dan engkau telah memperbaiki kondisinya dan anak-anaknya. Maka Allah telah mengutus malaikat dalam rupamu. Malaikat itu menunaikan haji untukmu setiap tahun. Dan pahala untukmu akan mengalir terus hingga hari kiamat." Aku pun terbangun dari tidurku. Aku bersyukur dan memuji kepada Allah atas segala karunia-Nya kepadaku. 

Menggembirakan Anak Kecil


Sayyidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah bercerita: Pada suatu hari, seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW seraya berkata, "Ya Rasulullah, sungguh aku telah melakukan perbuatan maksiat. Aku memohon padamu agar berkenan memintakan ampunan kepada Allah untukku." Rasulullah kemudian bertanya, "Apakah maksiat yang telah engkau lakukan?" Laki-laki itu menjawab, "Ya Rasulullah, aku sangat merasa malu untuk mengatakannya kepadamu." Rasulullah kembali bertanya, "Mengapa engkau malu mengatakan kepadaku tentang maksiat yang engkau lakukan, sementara engkau tidak merasa malu kepada Allah ketika engkau melakukannya. Padahal Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu."

Rupanya orang itu terlalu sensitif mendengar nasehat Rasulullah dan salah menyimpulkan. Ia mengira Rasulullah menyindirnya dan tak berkenan mendoakannya. Lelaki itu lantas keluar dan pergi. Dia menangis. Hatinya diliputi perasaan sedih dan putus asa karena merasa sudah tidak memiliki tempat bergantung untuk menyelesaikan masalah lagi.Tiba-tiba datang malaikat Jibril kepada Rasulullah seraya berkata, "Hai Rasulullah, mengapa engkau membuat seorang yang berdosa berputus asa? Padahal ia memiliki amal yang dapat menghapus dosa, sekalipun dosa yang dilakukannya sangat besar." Rasulullah kemudian bertanya, "Hai Jibril, seperti apakah amal yang dapat menghapus dosa?"

Jibril menjawab, "Dia memiliki anak yang masih kecil. Setiap kali ia pulang ke rumah, ia langsung menemui anaknya dan memberikan sesuatu kepadanya sehingga anaknya merasa gembira. Yang demikian itu adalah penebus dosa yang mahal harganya."

Kasih Sayang Kepada Sesama Makhluk


Suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab sedang berjalan di tengah lorong kota Madinah. Pandangan matanya terhenti pada seorang anak kecil yang sedang bermain dengan seekor burung pipit, sebagaimana lazimnya anak-anak bermain layang-layang. Dalam hati Umar, timbul belas kasihan pada burung pipit lemah itu. Umar lalu membeli burung tersebut dari anak kecil itu, kemudian melepaskannya.

Beberapa tahun setelah Umar bin Khattab meninggal dunia, salah seorang sahabatnya bermimpi bertemu dengannya. Sahabatnya itu lalu bertanya, "Ya Umar, apakah yang dilakukan Allah terhadap dirimu?" Umar menjawab, "Allah mengampuniku dan melepaskanku dari belenggu siksa." Sahabatnya itu kembali bertanya, "Sebab apakah hingga Allah mengampunimu dan melepaskanmu dari belenggu siksa, apakah karena kedermawananmu, keadilanmu atau karena kezuhudanmu terhadap dunia?"

Umar lalu menjawab, "Ketika orang-orang yang mengantarkan jenazahku telah pulang, aku sendirian di dalam kuburku. Lalu datanglah dua malaikat ke dalam kuburku. Aku merasa takut sekali hingga seluruh tubuhku gemetar dan aku hilang kesadaran. Lalu kedua malaikat itu mendudukkan aku. Tapi, ketika kedua malaikat itu hendak mengajukan pertanyaan kepadaku, tiba-tiba aku mendengar suara, 'Hai Munkar dan Nakir, tinggalkanlah hamba-Ku Umar bin Khattab. Janganlah kalian tanya dan jangan kalian takut-takuti. Aku menaruh belas kasih kepadanya dan bersedia melepaskan dia dari belenggu siksa-Ku. Sebab di waktu di dunia dia menaruh belas kasihan pada seekor burung pipit. Maka Aku curahkan belas kasih-Ku untuknya di akhirat.'"
   
Banyak kitab bermanfaat yang di tulis oleh Imam Ghazali.
Serupa dengan riwayat itu adalah kisah mengenai Al Ghazali. Pada suatu hari Imam Al Ghazali tengah menulis kitab dengan penanya. Ditengah-tengah menulis kitab itu, tiba-tiba ia melihat seekor lalat terbang di sekitarnya, dan tak sengaja hinggap di tempat tintanya. Imam Al Ghazali, yang kasihan menyaksikan lalat itu menggelepar-gelepar berusaha melepaskan diri dari kubangan tinta yang lengket, langsung mengangkat lalat itu. Beliau lalu membersihkan tubuh lalat kecil itu dari tinta dan mengeringkannya dengan hati-hati, agar tidak menyakiti lalat tersebut. Setelah itu beliau membiarkan lalat itu kembali terbang dengan bebas. Ketika Imam Al Ghazali meninggal dunia ada ulama yang bermimpi bertemu beliau. Ulama itu lantas bertanya, "Wahai Hujjatul Islam, apa yang telah Allah berikan kepadamu?" Dalam mimpi itu, Imam Al Ghazali menjawab, "Allah telah mengampuniku dan mencurahkan rahmat-Nya kepadaku." Ulama tadi kembali bertanya, "Apakah itu karena kealimanmu dan banyaknya kitab-kitab bermanfaat yang telah kau tulis?" Imam menjawab, "Bukan karena itu semua, tetapi Allah mengampuni dan mencurahkan rahmat-Nya padaku, disebabkan karena belas kasihku kepada seekor lalat." 

Kembalinya Tangan Si Gadis Buntung


Pada zaman dahulu, Bani Israil mengalami masa paceklik yang panjang. Makanan menjadi barang yang sulit diperoleh. Kalau pun ada, harganya sangat mahal. Banyak orang yang mati kelaparan saat itu. Suatu hari, seorang miskin datang mengetuk pintu tetangganya yang kaya-raya tetapi terkenal kikir. Ia memohon, "Berikanlah aku makanan karena Allah, tuan."

Orang kaya itu diam saja, tak menyahut rintihan itu sama sekali. Lalu anak perempuannya yang merasa iba terhadap orang itu, keluar rumah membawa sepotong roti yang masih hangat, lalu memberikannya kepada si miskin. Alangkah marahnya sang ayah.  Begitu murkanya ia kepada anak gadisnya, sampai-sampai tanpa ampun ia memotong tangan kanan anaknya itu. Sungguh hebat derita yang dialami anak perempuan itu. Ia hanya bisa menjerit kesakitan kemudian jatuh pingsan.

Tahun demi tahun berlalu, zaman datang silih berganti. Allah Swt menakdirkan sang hartawan jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan yang hina. Seluruh hartanya ludes, sementara anak perempuan satu-satunya yang bertangan buntung mencari sesuap nasi dengan jalan mengemis. Sesungguhnya gadis ini berwajah cantik, tapi karena tubuhnya begitu kotor, kecantikannya jadi tak terlihat.

Suatu hari, gadis buntung itu mengemis di depan rumah seorang laki-laki yang kaya-raya. Ketika ia mengetuk pintu, keluarlah ibu dari laki-laki kaya itu. Si gadis yang merasa malu dengan keadaannya, segera memasukkan tangan kanannya ke balik pakaiannya. Sang ibu yang melihat paras cantik gadis itu merasa heran, mengapa gadis secantik itu menjadi pengemis. Ibu itu lalu mengajak sang gadis masuk ke dalam rumahnya. Singkat cerita, sang gadis menuturkan kisah hidupnya kepada ibu itu. Lalu, karena merasa kasihan, si ibu bermaksud menikahkannya dengan anak lelakinya yang kaya.

Ketika hendak dinikahkan, calon pengantin perempuan kembali menyembunyikan tangan kanannya yang buntung. Saat dihidangkan makanan, ia mengambil dengan tangan kirinya. Melihat hal itu, calon suaminya berkata, "Keluarkan tangan kananmu!" Tapi, lagi-lagi si calon istri mengeluarkan tangan kirinya. Meskipun calon suaminya membentak sampai tiga kali, si gadis tetap saja mengeluarkan tangan kirinya. Akhirnya si hartawan marah.

Tiba-tiba terdengar suara berbisik dalam lubuk hati si gadis, "Keluarkan tanganmu, wahai hamba-Ku. Engkau telah memberi roti kepada orang miskin karena Aku. Oleh karena itu Kuanugerahkan tangan kanan kepadamu." Gadis itu kaget bukan kepalang. Setengah ragu ia keluarkan tangan kanannya dari balik pakaian. Subhanallah, dengan izin Allah, tangan kanannya kembali muncul seperti sedia kala. Maka kedua sejoli itu pun menikmati santapan dengan penuh bahagia.

Mengundang Tuhan



Kaum Bani Israil, suatu kali mendatangi Nabi Musa As. "Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan, agar Dia berkenan menerima undangan kami. Nabi Musa mendengar ucapan kaumnya ini langsung murka. Ia menjawab, "Apa kalian pikir Tuhan itu seperti kalian?! Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak membutuhkan makanan?!" Orang-orang itu akhirnya menyingkir, setelah melihat kemarahan Nabi Musa. Tetapi, ketika Nabi Musa menaiki bukit Sinai dan hendak bermunajat, Tuhan berkata kepadanya, "Kenapa tidak engkau sampaikan undangan untuk-Ku itu? Katakan pada umatmu, hai Musa, Aku akan datang pada jamuan mereka Jumat petang."

Nabi Musa lalu menyampaikan berita Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk menyiapkan pesta. Pada Jumat sore, seorang laki-laki renta tiba dari perjalanan jauh dalam keadaan lelah. "Saya lapar sekali,' kata laki-laki tua itu kepada Nabi Musa. "Berilah saya makanan." Nabi Musa menjawab, "Sabarlah, Tuhan Rabbul 'Alamin akan datang. Sekarang, ambillah ember itu dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus ikut memberikan bantuan seperti yang lain." Orang itu membawa air dan kembali meminta makanan.Tapi tak seorang pun mempedulikannya. Tak seorang pun bersedia memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Semua orang sibuk mempersiapkan diri menyambut Tuhan. Orang tua itu akhirnya melangkah pergi dengan hati yang kecewa.

Hari makin larut, namun yang ditunggu oleh kaum Bani Israil tidak juga datang. Akhirnya ketika hari telah beranjak malam, orang-orang mulai mengecam Nabi Musa yang dianggap telah memperdayakan mereka.

Nabi Musa lalu naik ke bukit Sinai dan bermunajat, "Tuhanku, aku sudah dipermalukan dihadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan." Tuhan menjawab, "Aku sudah datang. Aku telah menemuimu langsung, bahkan ketika Aku bicara padamu bahwa Aku lapar, kau menyuruhKu mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi kau menyuruhKu pergi. Baik kau maupun umatmu tidak ada yang menyambutKu dengan penghormatan."

Nabi Musa kembali protes, "Tuhanku, seorang tua memang telah datang dan meminta makanan. Tapi ia hanya manusia biasa."

Tuhan menjawab, "Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan tidak minum. Tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku."

Senada dengan kisah ini adalah hadits qudsi dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: Pada hari kiamat nanti, Allah akan berkata kepada hamba-hambaNya, "Hai hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar, engkau tidak memberi makan kepada-Ku. Aku sakit, engkau tidak menjenguk-Ku. Dahulu Aku telanjang, engkau tidak memberi pakaian pada-Ku." Kemudian hamba-hamba-Nya bertanya, "Tuhan, bagaimana aku melakukan itu semua sedangkan Engkau Tuhan Semesta Alam?" Tuhan menjawab, "Dahulu ada hamba-Ku yang sakit, sekiranya Engkau menjenguknya, engkau akan temukan Aku di situ. Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, sekiranya engkau beri makanan pada dia, engkau akan temukan aku di situ. Dahulu ada hamba-Ku yang telanjang, sekiranya engkau berikan pakaian padanya, engkau akan temukan Aku di situ."

Ibnu Arabi menjadikan hal ini sebagai pembahasan yang lengkap sebanyak satu jilid dalam kitabnya, Al Futuhatul Makkiyah. Dalam pembahasan tentang tajalli (penampakan) Tuhan di bumi, ia menyebutkan bahwa kita bisa menemukan Tuhan melalui perkhidmatan kepada sesama hamba-Nya.


Kisah Bidadari Assyura


Athiah bin Khalaf adalah seorang saudagar Mesir terkenal. Semula ia kaya raya, namun belakangan jatuh pailit. Satu-satunya kekayaan yang masih tertinggal padanya adalah sepasang busana yang dikenakannya.
Pada Asyura, 10 muharram, Athiah bin Khalaf menunaikan shalat subuh di masjid Amru bin Ash. Ketika ia sedang duduk sendirian disalah satu sudut masjid, datanglah seorang ibu bersama beberapa orang anak yang masih kecil-kecil.
“ Tuan, tolong lepaskanlah aku dan anak-anakku dari kesulitan hidup. Suamiku telah meninggal tanpa mewariskan apa-apa. Pekerjaan meminta-minta baru aku lakukan sekali ini. Aku juga keluar rumah karena terpaksa. Tolonglah tuan.”
Sejenak Athiah berpikir,apa yang mesti diberikan pada wanita itu? Sedangkan ia sendiri tidak memiliki apa-apa, kecuali busana yang melekat di badan. Jika pakaian ini kusumbangkan, akan terbukalah auratku, pikirnya. Tapi jika kutolak permintaannya, bagaimana nanti kata Rasulullah Saw terhadapku.
“ Baiklah, ayo ikut aku ke rumah,” ajak Athiah lembut. Sesampai di rumah ia menyuruh wanita tersebut menunggu diluar. Setelah melepas busananya, Athiah menyerahkan kepada wanita itu dari balik pintu.
“ Mudah-mudahan Allah SWT memberi tuan pakaian dan perhiasan dari surga. Tuan tidak akan lagi memerlukan bantuan dari orang lain selama hidup.”
Athiah sangat gembira mendengarnya. Setelah itu ia hanya mengunci diri dalam kamar. Ia berzikir siang malam. Sampailah pada suatu malam ia bermimpi melihat seorang bidadari yang cantik molek. Tangan kiri bidadari itu memegang apel beraroma harum dan setelah dibelah keluarlah sejumlah perhiasan surga. Bidadari itu mengenakan perhiasan surga kepada Athiah, lantas duduk menghiburnya.
“ Siapakah engkau? ” Tanya Athiah.
“ Saya Assyura, istri engkau dalam surga ini,” jawab bidadari itu.
“ Bagaimana saya bisa mendapatkan kebahagiaan seperti ini? ”
“ Berkat doa wanita yang engkau tolong kemarin.”
“ Athiah tersentak. Ia bangun dari tidurnya dengan riang gembira. Lantas mengambil air wudhu dan shalat dua rakaat, sebagai pernyataan syukur kepada Allah Swt. Usai shalat, Athiah bin Khalaf berdoa. “ Ya Allah, andai benar mimpiku tadi dan bidadari itu yang akan menjadi istriku, cabutlah nyawaku sekarang juga, supaya aku segera mendapatkannya. ”
Belum sampai ia menutup doanya, Allah mengabulkan permintaannya. Pada waktu itulah Athiah meninggal dunia.
Sumber : Sedekah Membuka Pintu Surga Oleh Syamsul Rijal Hamid – Cahaya Salam.


Saudara Kembar Setan


Ada seorang laki-laki yang sudah lama menikah tapi belum juga mempunyai keturunan. Sudah bertahun-tahun ia ingin memiliki anak, tapi niatnya itu belum tercapai juga. Ia telah melakukan berbagai ikhtiar agar cita-citanya mempunyai anak dapat terwujud. Berbagai nadzar telah ia ucapkan, namun tetap saja anak yang diidam-idamkan tak kunjung hadir.
Entah karena putus asa atau karena nekad, suatu hari ia dengan kesal mengucapkan nadzar: “Seandainya aku dikaruniai anak oleh Allah, aku akan bersedekah kepada saudara-saudaranya syaithan masing-masing 50 Dinar…!”
Wallahu a’lam, apakah karena nadzarnya itu ataukah sebab memang sudah menjadi kehendak Allah, tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan seorang putra yang sehat dan tampan. Betapa gembiranya hati laki-laki itu beserta istrinya dengan kehadiran anggota baru dalam keluarga mereka. Dengan penuh cinta dan kasih sayang mereka merawat putra tersebut. Laki-laki itu telah melupakan nadzar yang pernah ia ucapkan.
Pada suatu malam, laki-laki tersebut mimpi bertemu setan didalam tidurnya. Setan berkata kepadanya, “Wahai Fulan, jangan lupakan nadzarmu untuk bersedekah kepada saudara-saudaraku!”
Laki-laki itu lantas bertanya kepada setan, “Siapakah saudara-saudaramu?”
Setan menjawab, “Carilah pezina, pemabuk, penjudi, pendurhaka kepada kedua orangtua dan orang yang bakhil lagi serakah karena mereka itulah saudara-saudaraku.”
Setelah terbangun dari tidurnya, tanpa berpikir panjang lagi langsung ia mengambil uangnya dan melangkah mencari saudara-saudaranya setan yang disebutkan dalam mimpi.
Ia mencari diantara tetangganya, tetapi tak ia temukan. Akhirnya ia berjalan menuju desa sebelah. Orang pertama yang ditemuinya adalah pezina. Ketika disodorkan uang sebanyak 50 Dinar, pezina itu keheranan dan bertanya, “Dalam rangka apa engkau memberiku uang ini?” Laki-laki itu lalu mengisahkan nadzar dan mimpinya.
Mendengar cerita laki-laki itu, sang pezina langsung saja bersujud, menangis, dan bertaubat kepada Allah. Ia berniat untuk tidak mengulangi pekerjaannya karena tidak mau disebut sebagai saudaranya setan. Uang 50 Dinar pun ditolaknya.
Orang kedua yang ditemui laki-laki itu adalah pemabuk. Ketika si laki-laki menyodorkan uang 50 Dinar, sang pemabuk pun bertanya apa maksud dari pemberian ini, “Mengapa engkau memberikan uang sebanyak ini padaku padahal aku adalah seorang pemabuk yang suka menghamburkan uang untuk membeli minuman keras?” laki-laki tersebut menjawab, “Justru karena itulah aku ingin memberimu uang ini.” Ia lalu menceritakan nadzar dan mimpinya.
Mendengar penuturan si laki-laki, sang pemabuk pun lalu tersungkur lemas, bersujud dan tak henti-hentinya ia mengucapkan kalimat istighfar (permohonan ampun). Uang 50 Dinar ia enggan menerimanya pula.
Orang ketiga yang ditemuinya yaitu penjudi, ketika mendengar cerita laki-laki itu juga lantas bertaubat dari kebiasaannya berjudi. Orang keempat yaitu pendurhaka kepada kedua orangtua, begitu mendengar penuturan laki-laki itu, sambil menangis keras segera menuju rumah orangtuanya untuk meminta maaf kepada mereka. Baik orang ketiga juga orang keempat menolak menerima uang 50 Dinar dari laki-laki tersebut.
Dengan langkah kelelahan akhirnya si laki-laki menemukan rumah saudara setan yang terakhir, yaitu seorang yang kikir lagi tamak. Dengan napas terengah-engah, ia lalu mengetuk pintu rumah yang megah itu. Dalam hati si laki-laki ada terbersit kekhawatiran, bahwa si kikir ini akan menolak juga uang nadzar darinya seperti saudara-saudara setan yang lain.
“Assalamu alaikum…!”
Tak lama si bakhil, sang pemilik rumah, mengeluarkan kepalanya dari pintu tanpa menjawab salam sang tamu. Tubuhnya tersembunyi, hanya kepalanya saja yang kelihatan. “Yah, ada keperluan apa…?!
"Aku ingin memberimu uang 50 Dinar.”
Mendengar kata-kata uang, si bakhil bin serakah ini langsung membuka pintu dan segera menyambar kantung uang di tangan tamunya. “Mengapa engkau memberiku uang sebanyak ini, apa kau pernah punya hutang padaku…?”
Lalu tamunya itu menceritakan nadzar dan mimpinya serta pertemuannya dengan pezina, pemabuk, penjudi dan orang yang durhaka pada orangtuanya. Mendengar kisah ini, si kikir lagi serakah langsung saja mengulurkan tangannya sambil berkata, “Kalau mereka tak mau terima uangnya, berikan saja semua uang itu kepadaku..!”
Dengan mata terbelalak laki-laki yang bernadzar itu menyerahkan uangnya dan beranjak dari rumah tersebut seraya berkata, “Engkau benar-benar saudara kembarnya setan…!!”